Yang dikerjakannya setiap hari hanyalah makan, minum dan mabuk
sehingga keluarganya memandang rendah dia. Itulah kehidupan Yohanes
Handri, hingga suatu hari ia tidak bisa terima lagi penghinaan dari
keluarganya dan ingin membuktikan bahwa dirinya sekalipun “nakal” juga
bisa sukses.
“Siapa bilang kalau orang yang nakal itu ngga bisa berhasil,” demikian ujar Handri.
Sayangnya, jalan kesuksesan yang dipilih Handri adalah jalan pintas.
Dukun dan berjudi adalah caranya mencari kekayaan. Memang dalam waktu
singkat ia berhasil mendapatkan uang yang banyak, namun tidak ada
seorangpun yang tahu dari mana asal kekayaannya.
Ketika ia menemukan wanita yang ia cintai, ia berhenti berjudi dan
menikahi wanita tersebut. Namun itu tidak berlangsung lama. Dua tahun
setelah pernikahannya, ia kembali berjudi, bahkan kali ini ia melakukan
terang-terangan di depan istrinya.
“Susah ya menghilangkan kebiasaan itu,” ujar Handri, “Saya ngomong
sama istri saya kalau saya mau cari uang lebih dan uang paling gampang
itu dari perjudian. Saya mau buktikan kalau saya bisa kaya karena judi.”
Itulah obsesi Handri, ingin menjadi kaya karena judi. Namun pada
kenyataannya, jalan yang harus ditempuhnya tidak semulus harapannya.
Kekalahan demi kekalahan harus ia terima. Namun kekalahan tidak
membuatnya jera.
Handri mengeluarkan jurus pamungkasnya, ia kembali ke dukun. Tapi
kali ini ia tidak sendiri, ia juga menyeret istrinya masuk dalam dunia
kelam tersebut. Sekalipun tidak suka, istri Handri akhirnya mengikuti
kemauan suaminya.
“Ngapain kita kesini?” demikian tanya istrinya yang merasakan tidak
damai sejahtera di tempat dukun itu. Namun Handri lebih tertarik dengan
perkataan sang Dukun.
“Waduh, istri kamu bawa rejeki. Mukanya kaya bulan. Kalau kamu mau menang, istri kamu harus dibawa kemana-mana.”
Seperti kerbau di cucuk hidungnya, Handri mengikuti perkataan dukun
itu. Kini istrinya dipaksa ikut ke tempat perjudian. Ia tidak peduli
sekalipun harus membohongi sang ibu mertua ketika menitipkan kedua
anaknya.
“Pas kebetulan saya bawa istri, pas menang. Hal itu membuat saya
yakin sekali kalau dia itu bawa rejeki. Jadi kemana-mana saya bawa dia
mulai saat itu.”
Dalam waktu singkat, Handri berhasil mengumpulkan kekayaan seperti
tekad yang pernah ia buat. Namun dibalik keberhasilannya itu, kehidupan
rumah tangganya tidaklah harmonis. Ia sering kali bertengkar dengan
istri karena banyak hal, mulai dari masalah anak-anak yang diperlakukan
kasar oleh Handri hingga masalah istrinya yang sudah tidak mau lagi di
ajak ke tempat berjudi.
Judi adalah tempat pelarian bagi Handri, ia sudah tidak peduli lagi
dengan kondisi keluarganya. Apa lagi ketika ia kembali mengalami
kekalahan demi kekalahan. Satu persatu hartanya ia jual untuk menutupi
hutang-hutangnya.
“Bukannya kesuksesan yang saya raih tapi kehancuran dalam rumah tangga saya,” demikian pengakuan Handri.
Harta terakhir yang tertinggal adalah rumah, Handri pun tak segan
menjualnya. Ia beralasan akan menggunakan uang penjualan rumah itu
untuk modal usaha, nyatanya ia gunakan untuk modal berjudi.
“Pertama sejuta, lalu naik lagi ke dua juta. Dua naik ke empat,
empat naik ke delapan, delapan naik ke enam belas. Terus
berlipat-lipat, terakhir saya kesal saya pasang dua puluh lima juta.
Tetap ngga dapat.”
Uang penjualan rumah pun habis tanpa sisa, ia memberanikan diri
memberitahu istrinya. Tak pelak ia harus menerima omelan dari sang
istri yang kesal. Tidak ada uang, bahkan untuk belanja makanan,
terpaksa akhirnya ia beserta istri dan anak-anaknya makan dirumah
mertuanya.
“Saya juga frustrasi sih, kehidupan yang seperti ini membuat saya
frustrasi karena saya tidak bisa jadi kepala keluarga yang baik. Saat
itu saya sangat malu sekali dengan mertua saya.”
Sembilan tahun Handri menjalani pernikahannya, namun ia tidak juga
berubah. Istrinya yang dengan tekun berdoa sudah hampir putus harapan
untuk melihat perubahan dalam hidup Handri. Tapi tidak dengan Tuhan.
“Saya menyervis tv di suatu ruangan, saat itu saya tidak merasa
senang. Pikiran saya ngga karuan. Tiba-tiba saya mendengar suara yang
berkata seperti ini: Akulah damai sejahtera, ikutlah Aku. Suara itu
terngiang-ngiang di telinga saya.”
Suara itu tidak hanya sekali mendatangi Handri, suara itu terus mengusi hati nuraninya.
“Besok harinya, hari ketiga, suara itu datang lagi. Baru saya datang
pada istri saya, dan saya bilang: Ayo ke gereja..! Istri saya bilang,
‘Ah kamu, orang seperti gini mau ke gereja.’ Benar saya mau ke gereja,
sungguh-sungguh saya mau cari Tuhan. Saya sudah ngga karuan, saya
bilang. Saya paksain istri saya untuk datang ke gereja.”
Akhirnya Handri dan istrinya datang ke gereja. Namun disana, ia masih diliputi oleh ketakutan yang luar biasa.
“Saya takut mati saat itu. Kalau saya mati gimana? Itu yang saya
katakan dalam hati saya. Saya takut mati karena saya banyak dosa,
selain itu saya belum bisa memberikan yang terbaik untuk istri dan
anak-anak saya. Kalau saya mati saya masuk neraka, saya tidak punya
pegangan.”
“Hamba Tuhan itu memanggil: ‘Siapa yang mau didoakan?’ Saya ngga ada
niat untuk didoakan, tapi kaki saya melangkah ke depan. Setelah itu
saya didoakan. Saat itu saya merasakan sukacita itu sangat penuh dalam
hidup saya. Selama saya hidup, saya ngga pernah merasakan sukacita,
ngga pernah saya senang. Saat itu saya tahu Tuhan sayang sama saya.
Tuhan itu mencintai saya, dan saya mengambil keputusan untuk
menyerahkan hidup saya pada Tuhan.”
Sejak perjumpaan pribadi dengan Tuhan itu, Handri menjadi pribadi
yang berbeda. Kini ia menjadi seorang suami yang penuh kasih pada
istrinya dan juga anak-anaknya. Kesuksesan pun ia dapatkan ketika ia
mendapatkan pengenalan yang benar tentang siapa Tuhan dan Juru
Selamatnya, yaitu Yesus Kristus.
“Hidup saya berubah, karena saya tahu Yesus adalah Tuhan, Yesus
adalah Raja. Saya mau melayani Tuhan seumur hidup saya, dan saya tidak
mau tinggalkan Dia karena Dia tidak pernah tinggalkan saya,” jelas
Handri. (Kisah ini ditayangkan 16 Juni 2011 dalam acara Solusi di O’Channel).
Sumber Kesaksian:
Yohanes Handri (jawaban.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar